tes

s

Kapolda Riau: Puisi untuk Bumi Melayu Kita



Kapolda Riau, Irjen Herry Heryawan, menyampaikan pesan kuat tentang pelestarian lingkungan melalui sebuah puisi berjudul "Di Tanah Melayu Aku Bertanya". Bukan sekadar imbauan, puisi ini merupakan ajakan mendalam bagi seluruh masyarakat Riau untuk merenungkan peran mereka dalam menjaga alam.

Puisi tersebut dibacakan pada Rabu, 18 Juni 2025, di Pulau Tongah, Tanjung Belit, Kabupaten Kampar, Riau, dalam rangka memperingati HUT Bhayangkara ke-79 yang bertema "Bakti Religi dan Lingkungan", sekaligus memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Acara tersebut dihadiri oleh tokoh-tokoh penting, termasuk Wakapolda Riau, Gubernur Riau Abdul Wahid, Ustaz Abdul Somad (UAS), para bupati se-Provinsi Riau, Rocky Gerung, Prof Tommy Awuy, perwakilan Pramuka, dan ratusan warga setempat.

Irjen Herry Heryawan menekankan filosofi bahwa bumi adalah titipan, bukan hanya warisan, yang harus dijaga demi keberlangsungan hidup dan marwah Bumi Lancang Kuning. Puisi tersebut menjadi seruan yang menggugah kesadaran akan kondisi lingkungan dan adat istiadat di Tanah Melayu. Lebih dari sekadar kata-kata, puisi ini merupakan manifestasi kegelisahan dan ajakan untuk bertindak, yang terucap dari hati seorang pemimpin. Bait-bait puisinya menyiratkan keprihatinan atas kerusakan lingkungan, seperti penebangan hutan dan penambangan liar.

Melalui puisinya, Irjen Herry Heryawan mengajak masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan, karena bumi adalah warisan yang harus dijaga untuk generasi mendatang. Ceramah Ustaz Abdul Somad yang menekankan pentingnya menjaga lingkungan semakin menambah khidmat acara tersebut.

Berikut petikan puisi yang dibacakan oleh Irjen Herry Heryawan:

Di Tanah Melayu, Aku Berkata

Wahai angin dari Timur, sampaikan salamku pada hutan yang hampir jadi kabar, pada sungai yang menangis dalam sunyi alirannya. Di tanah Melayu, aku bertanya: Masih adakah nyanyi pantun yang menjaga bumi?

Atau semua telah jadi cerita? Cerita hutan yang ditebang tanpa timbang, sungai yang dicemari nama pembangunan, udara yang kini bertukar jadi abu dan amarah.

Dulu, datuk nenek kami menanam syair di balik ladang, di tepi sungai, di dasar doa. Mereka berkata: Kalau engkau rusak rimba, maka anak cucumu takkan berimba. Kalau engkau lupa adat, maka engkau hanyut tak bersemat. Tapi kini? Hutan ditebang demi kuasa, sungai ditambang demi laba, gunung dilukai, tanah dijual, dan adat tinggal di museum suara!

Wahai hutan Bukit Tigapuluh, wahai Danau Zamrud yang tak lagi jernih, wahai gambut yang terbakar dalam senyap.

Kami bersaksi! Bahwa kami pernah hidup di antara daun yang bersujud, bahwa kami pernah menyusui bumi dari peluh petuah.

Tapi kini kami bangkit! Dengan syair di tangan kanan, dengan pantun di dada kiri, dengan adat yang tak bisa dibeli dan bumi yang tak sudi dibagi!

Wahai anak Melayu! Jika kau cinta tanah ini, maka cintailah angin, maka jagalah sungai, maka rawatlah hutan, karena di situlah nenek moyangmu menitipkan hidup, bukan sekadar warisan tapi amanah.

Di tanah Melayu, aku tak sekadar membaca syair. Aku bersaksi atas luka, aku berjanji atas cinta, dan aku berseru:

"Bumi ini bukan warisan, tapi titipan yang harus kita pulangkan... dalam keadaan utuh dan beradab."

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kapolda Riau: Puisi untuk Bumi Melayu Kita "

Posting Komentar